Sabtu, 13 Desember 2014

Cinta Bahasa Indonesia :)

Sekilas Tentang Sejarah Bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. pada saat itu, para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam kerapatan Pemuda dan berikrar (1) bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2) berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.
Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa <?xml:namespace prefix = st1 ns = "urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" />Indonesia. Pada tahun 1928 itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.
Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara.
Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183), K’ouen-louen (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089). Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun (Prentice, 1078:19), yang berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin.
Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.
Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.
Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Para pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).
Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.



Penguatan Bahasa Indonesia di Dunia Internasional

Balai Bahasa YogyakartaMakalah pada Sarasehan Kebahasan Dan Kesastraan Indonesia Tahun 2013 Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Hotel Gowongan Inn, Yogyakarta, 23 Oktober 2013
Bulan Oktober merupakan bulan yang istimewa bagi para pencinta bahasa Indonesia karena bulan ini telah ditetapkan sebagai Bulan Bahasa dan Sastra oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (BPPB) sejak tahun 1980. Selama bulan Oktober ini, berbagai kegiatan dilakukan, baik oleh BPPB maupun pihak-pihak lain yang peduli dengan bahasa Indonesia, guna membina dan mengembangkan bahasa dan sastra Indonesia, serta memelihara semangat dan meningkatkan peran serta masyarakat luas dalam bahasa dan sastra. Sarasehan yang diadakan oleh Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (BBY) ini merupakan salah satu wujud kegiatan tersebut.
Tema yang diangkat pada sarasehan tahun 2013 ini adalah “Penguatan Bahasa Indonesia di Dunia Internasional”. Tema ini pula yang dipakai sebagai tema Kongres Bahasa Indonesia X pada tanggal 28‌–31 Oktober yang akan datang di Jakarta. Sebagai negara keempat terbesar (setelah Cina, India, dan Amerika Serikat) dalam jumlah penduduk, 238 juta menurut sensus penduduk BPS 2010 dan 250 juta menurut perkiraan PBB 2012, Indonesia sebenarnya memiliki potensi untuk memiliki peranan penting pada berbagai bidang dalam dunia internasional.
Ambil contoh bidang ekonomi. Jumlah penduduk Indonesia yang banyak merupakan madu bagi kumbang-kumbang perusahaan internasional untuk memasarkan produknya melalui globalisasi. Untuk dapat memasarkan produk mereka, negara-negara tersebut harus berkomunikasi dengan bahasa yang dipahami oleh rakyat Indonesia. Meskipun telah ada sebagian masyarakat Indonesia yang memahami bahasa Inggris yang merupakan basantara (lingua franca) dunia, sebagian besar rakyat Indonesia masih lebih mudah memahami bahasa Indonesia atau bahasa daerah yang merupakan bahasa ibu bagi mereka. Kepentingan ekonomi ini merupakan salah satu hal yang mendorong ketertarikan dunia internasional untuk menggunakan bahasa Indonesia.
Bukti ketertarikan tersebut dapat dilihat pada dua contoh, yaitu penggunaan bahasa Indonesia oleh berbagai situs web terkemuka dan penyertaan bahasa Indonesia dalam kurikulum sekolah dasar di Australia. Contoh pertama dapat kita lihat sendiri pada Google yang menjadikan bahasa Indonesia salah satu bahasa yang mereka sediakan pada situs-situs web mereka. Demikian juga halnya pada Twitter, Facebook, WordPress, dan berbagai jejaring sosial lain. Contoh kedua saya peroleh sewaktu menjadi pembicara tamu pada acara ulang tahun Balai Bahasa Indonesia Perth (BBIP). Saya diberi tahu bahwa jumlah peminat kursus bahasa Indonesia yang diadakan BBIP semakin lama semakin bertambah. Hal ini ditengarai oleh penyertaan bahasa Indonesia sebagai salah satu dari beberapa bahasa asing yang harus dipilih oleh siswa sekolah di Australia. Bahasa yang lain adalah Mandarin, Jepang, dan Korea. Banyaknya peminat bahasa Indonesia ini bahkan mendorong dibentuknya WILTA (The Westralian Indonesian Language Teachers’ Association), asosiasi pengajar bahasa Indonesia di Australia Barat.
Argumen dan bukti di atas menunjukkan bahwa bahasa Indonesia cukup berpeluang untuk berperan di dunia internasional. Yang menjadi pertanyaan, apa yang harus dilakukan untuk memperkuat bahasa Indonesia di dunia internasional? Makalah singkat ini saya harapkan dapat menjadi pengantar diskusi untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Sebagai konsultan manajemen, hal pertama yang biasanya saya lakukan untuk menjawab suatu pertanyaan atau masalah adalah memahami kondisi yang relevan saat ini. Dari pemahaman tentang kondisi tersebut, kita akan lebih mudah mencari jawaban atas masalah yang dihadapi.
Ada dua masalah utama bahasa Indonesia yang ingin saya soroti pada kesempatan ini, yaitu, pertama, memudarnya kebanggaan berbahasa Indonesia dan, kedua, menurunnya keterampilan berbahasa Indonesia. Kedua masalah ini sebenarnya saling terkait. Penyelesaiannya (mungkin) tidak dapat ditemukan dalam waktu singkat dan memerlukan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan.

Memudarnya Kebanggaan Berbahasa Indonesia

Masalah pertama, memudarnya kebanggaan berbahasa Indonesia, antara lain tampak dalam (1) penyisipan bahasa asing yang sebenarnya ada padanan bahasa Indonesianya, (2) penggunaan bahasa asing untuk nama tempat atau acara di Indonesia, serta (3) penggunaan bahasa asing sebagai pengantar dalam acara di Indonesia. Tentu saja saya tidak bermaksud untuk memukul rata semua kasus di atas sebagai tanda pudarnya kebanggaan berbahasa Indonesia karena ada beberapa alasan yang mungkin masuk akal.
Fenomena penyisipan bahasa asing, yang dikenal dengan alih kode, sangat lazim ditemukan dalam percakapan sehari-hari di lingkungan saya. “Pak, skedul miting dengan klien minggu depan dikensel, ya.” Demikian salah satu contoh alih kode yang sering saya temukan. Seberapa pun cerewetnya saya, para kolega kerja saya tetap kerap melakukan alih kode semacam itu. Padahal, apa sulitnya menggunakan kata jadwal, rapat, dan dibatalkan?
Penyebaran fenomena ini tampaknya cukup merata, baik pada kalangan bawah maupun atas. Istri saya sering menertawai saya karena “bertengkar” dengan pelayan restoran dan petugas parkir. Saya selalu berkata, “Boleh minta bonnya?” kepada pelayan restoran dan hampir selalu dibalas dengan, “Oh, bill, Pak?”. Petugas parkir yang bertanya, “Bayar (dengan) kes atau Flash, Pak?” hampir selalu saya jawab dengan, “Tunai!” Seolah tidak cukup, saya terenyuh saat mendengar, misalnya, Presiden SBY berpidato, “Sekarang seperti apa structure, magnitude, dan sasaran APBN 2011 …,” saat membuka perdagangan saham perdana di Bursa Efek Indonesia.
Pak Anton Moeliono pernah menulis kritik yang cukup pedas di KOMPAS tentang penggunaan bahasa Inggris untuk nama acara National Summit 2009. Acara ini diadakan di Indonesia dan dihadiri hanya oleh orang-orang Indonesia. Mengapa pula harus menggunakan nama dalam bahasa asing? Mengapa tidak menggunakan nama Indonesia seperti Rembuk Nasional? Toh sebenarnya mudah untuk mencari nama yang mengandung makna serupa.
Itu hanya satu di antara ratusan contoh lain tentang kecenderungan untuk memilih bahasa asing, terutama bahasa Inggris, untuk menamai acara atau tempat di Indonesia. Istilah-istilah seperti tower, junction, dan park sangat mudah ditemui, meski menara, simpang, dan taman belum pernah dihilangkan dari khazanah kosakata kita. Alasan klasik yang dikemukakan adalah bahwa penggunaan istilah asing lebih komersial. Benarkah? Entah mengapa, saya jadi teringat pada pepatah alah bisa karena biasa.
Sebagai pegiat Wikipedia, saya pernah mengikuti Wikimania di Argentina pada tahun 2009. Wikimania adalah suatu ajang tahunan dengan lokasi penyelenggaraan yang berbeda-beda, yang bertujuan untuk mengumpulkan para wikipediawan dari seluruh dunia guna bersilaturahmi dan bertukar informasi. Saya terkesima saat Patricio Lorente, ketua penyelenggara acara tersebut, menyampaikan pidato pembukaannya dalam bahasa Spanyol. Padahal, sebelum acara tersebut saya sempat berbincang-bincang dengan beliau dalam bahasa Inggrisnya yang dikuasai beliau dengan bagus. Para juru bahasa membantu para hadirin melalui perangkat dengar (headset) untuk memahami apa yang disampaikan oleh beliau.
Betapa berbedanya kondisi ini dengan keadaan saat saya menghadiri suatu acara di Indonesia yang menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris. Padahal, hampir semua hadirin dalam acara tersebut adalah penutur asli bahasa Indonesia. Hanya segelintir orang asing yang hadir dalam acara tersebut. Sebagian dari mereka pun cukup fasih berbahasa Indonesia. Ada apa dengan kita?

Menurunnya Keterampilan Berbahasa Indonesia

Suatu penelitian pada tahun 1994 menunjukkan bahwa secara rata-rata pada setiap halaman skripsi terdapat 2,3 kesalahan berupa penyimpangan kaidah bahasa. Sejumlah 21,74% dari kesalahan tersebut merupakan kesalahan berat seperti kekurangjelasan gagasan (Tadjuddin, 2013). Itu kenyataan pada tingkat perguruan tinggi. Pada tingkat pendidikan yang lebih rendah, kita pun pernah dikejutkan dengan lebih rendahnya nilai ujian nasional bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa Inggris.
Pengalaman saya menunjukkan hal yang sama. Saat mengambil S-2, saya pernah dimintai bantuan oleh beberapa rekan seangkatan saya untuk memeriksa tesis mereka. Hampir tidak ada halaman yang tidak saya tandai dengan pelacak perubahan (track changes) pada MS Word. Demikian pula halnya saat saya memeriksa laporan-laporan pekerjaan konsultasi yang dibuat oleh para staf saya. Saya selalu gemas melihat kesalahan-kesalahan berbahasa mulai dari sekadar salah eja hingga salah nalar.
Saya pernah menemukan papan peringatan yang dibuat oleh suatu kontraktor terkemuka di suatu lokasi pembangunan bandara yang bertuliskan, “Di larang melintas disini.” Perhatikan “di larang” yang dipisah dan “disini” yang dirangkai. Mantap, bukan?
Pada tataran lisan, saya sering sedih kala mendengar para wartawan baru beberapa stasiun televisi saat liputan langsung seperti lebaran. Para wartawan tersebut, yang keterampilan berbicaranya seharusnya lebih baik dari rata-rata, kerap terbata-bata saat menyampaikan laporan mereka dan, mungkin tanpa sadar, menggunakan ragam percakapan dalam laporan tersebut. Keterampilan menyimak mereka pun tampaknya kurang baik karena kadang apa yang disampaikan oleh terwawancara tidak bisa tertangkap dengan baik oleh mereka. Saya jadi rindu dengan Anita Rachman.

Apa Sebabnya?

Setelah mengenali kedua masalah tersebut, hal selanjutnya yang perlu kita telaah adalah apa sebabnya. Saya pikir sebab paling dasar adalah sifat negatif bangsa Indonesia yang diuraikan oleh Koentjaraningrat – guru besar antropologi Indonesia – dalam bukunya Rintangan2 mental dalam pembangunan ekonomi di Indonesia (1969). Menurut beliau, ada enam sifat negatif bangsa Indonesia, yaitu (1) meremehkan mutu, (2) suka menerabas, (3) tuna harga diri, (4) menjauhi disiplin, (5) enggan bertanggung jawab, dan (6) latah atau ikut-ikutan.
Meremehkan mutu tecermin dalam perilaku berbahasa asal bisa dimengerti. Sifat ini menyebabkan bahasa yang digunakan asal saja tanpa memedulikan apakah bahasa yang digunakan benar atau salah. Tidak ada keinginan untuk menggunakan bahasa sesuai dengan kaidah, asalkan bahasa yang digunakan bisa dimengerti oleh orang lain.
Suka menerabas tecermin dalam perilaku berbahasa ingin dapat berbahasa Indonesia dengan baik tanpa melalui proses belajar. Bahasa Indonesia dianggap merupakan bahasa yang ada secara alami dan bisa dikuasai tanpa harus dipelajari. Menjadi warga negara Indonesia bukan berarti secara otomatis mampu berbahasa Indonesia. Banyak penduduk Indonesia menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua dan bahasa daerah sebagai bahasa-ibunya. Sedangkan untuk dapat menggunakan bahasa ibu dengan baik saja seseorang perlu belajar dari lingkungan, apalagi untuk dapat mahir menggunakan bahasa kedua.
Tuna harga diri tecermin dalam perilaku berbahasa yang mengagungkan bahasa asing dan menomorduakan bahasa sendiri, misalnya dengan mencantumkan “Exit”, alih-alih “Keluar” pada pintu masuk kantor, atau dengan menggunakan istilah “meeting”, alih-alih “rapat” dalam bahasa sehari-hari. Ada baiknya coba mencontoh bangsa Prancis atau Jepang yang dengan bangga menggunakan bahasa mereka sendiri sebagai jati diri bangsa.
Menjauhi disiplin tecermin dalam perilaku berbahasa yang tidak mau atau malas mengikuti aturan atau kaidah bahasa. Semua bahasa, tidak terkecuali bahasa Indonesia, memiliki aturan dan kaidah yang harus digunakan secara taat asas.
Enggan bertanggung jawab tecermin dalam perilaku berbahasa yang tidak memperhatikan penalaran bahasa yang benar. Bertanggung jawab dalam berbahasa adalah mempertanggungjawabkan kebenaran isi bahasa dengan berpikir dengan baik sebelum mengeluarkan suatu kalimat agar tidak menimbulkan kesalahan nalar.
Latah atau ikut-ikutan tecermin dalam perilaku berbahasa meniru atau mengulang kembali ucapan orang lain tanpa memperhatikan kebenaran ucapan tersebut, baik secara semantik maupun gramatikal. Kritislah dan pikirkanlah dulu perkataan orang lain sebelum mengulangnya, atau dalam konteks kontemporer, sebelum mengicaukan ulang (retweet) suatu twit.

Apa yang Dapat Dilakukan?

Saya berpendapat bahwa upaya penguatan bahasa Indonesia di dunia internasional harus dimulai dari diri kita sendiri dengan mengikis sifat negatif kita dalam berbahasa. Saya pernah membaca kisah tentang seseorang yang saat menjelang ajalnya meratap,
Ketika aku muda, aku ingin mengubah dunia
Lalu, aku menyadari betapa sulitnya mengubah dunia
Maka aku putuskan untuk mengubah negaraku saja
Kemudian kusadari tidak mudah untuk mengubah negaraku
Maka aku berusaha mengubah kotaku
Semakin tua, aku menyadari tidak mudah mengubah kotaku
Maka aku mulai mencoba mengubah keluargaku
Kini aku semakin renta dan ternyata aku tak bisa mengubah keluargaku
Akhirnya aku menyadari bahwa satu-satunya yang bisa aku ubah adalah diriku sendiri
Bila saja aku bisa mengubah diriku sejak dahulu, mungkin kini aku bisa mengubah dunia
Bila sekitar 200 hadirin acara ini dapat menumbuhkan kembali kebanggaan berbahasa Indonesia dan meningkatkan keterampilan berbahasa Indonesia ‌– baik keterampilan menyimak, berbicara, membaca, maupun menulis ‌– pada diri sendiri, mungkin hal tersebut akan menular kepada keluarga dan orang-orang terdekat. Perubahan tersebut pada akhirnya mungkin akan mengubah dunia. Mari kita mulai.

Rujukan

  1. Ahniar, N.F., & Galih, B. (2011, 3 Januari). Ketika Presiden Menggunakan Bahasa Gado-Gado. Vivanews.
  2. Badan Pusat Statistik. (2011). Penduduk Indonesia menurut Provinsi 1971, 1980, 1990, 1995, 2000 dan 2010.
  3. Chaer, A. (2002). Pembakuan Bahasa Indonesia.
  4. Fajrin, M.R. (2011). Masa-Masa Penting dalam Perkembangan Bahasa Melayu Menjadi Bahasa Indonesia.
  5. Moeliono, A.M. (2009). Bahasa Indonesia di dalam Era Reformasi dan Globalisasi. Dalam Subagyo, P.A., & Macaryus, S. (Ed.), Peneroka Hakikat Bahasa (hlm. 195‌-202).
  6. Moeliono, A.M. (2009, 6 November). “National Summit?”. KOMPAS.
  7. Tadjuddin, M. (2013). Bahasa Indonesia: Bentuk dan Makna.
  8. United Nations, Department of Economic and Social Affairs, Population Division (2013). World Population Prospects: The 2012 Revision, Highlights and Advance Tables. Working Paper No. ESA/P/WP.228.
  9. Wikipedia. (2013, 20 Oktober). List of countries by population.
  10. Zahari, M. (2011). Menjunjung Bahasa Persatuan.
  11.  http://ivan.lanin.org/penguatan-bahasa-indonesia-di-dunia-internasional/